Menyeduh Kopi di Bawah Air Terjun “Undak Manuk Jepara”
Weekend, Sabtu 18 Maret 2017.
Seminggu terakhir ini aku disibukan dengan kegiatan UASBN. Maklum lah udah
kelas 12. Seperti biasa setiap weekend aku selalu menyempatkan setidaknya satu
hari untuk travelling. Kali ini aku berkesempatan mengunjungi destinasi wisata
alam yang belum dikelola pemerintah atau masyarakat sekitar alias masih
perawan. Ojo ngeres lho. Warga
sekitar memberinya nama “Air Terjun Undak Manuk”, dan aku nggak tahu artinya
selain “manuk” adalah burung. Berlokasi di Dukuh Gowa, Blingoh, Donorojo,
Jepara (di Tengah Hutan).
Untuk menuju desa Blingoh bisa ditempuh kurang lebih 45 menit dari kota
Jepara. Desa ini berada di ujung timur kota Jepara. Teruslah menuju timur kota,
kalian nanti akan melewati Kec Mlonggo, Bangsri, Kembang. Setelah melewati Kec
Kembang nanti akan ada pertigaan Advertisement
place dari Benteng Portugis. Ambil kiri. Sekitar 3 Km ada pertigaan gapura pembatas desa (warnan
Hijau) silahkan ambil kanan. Oh ya saat aku kesana sedang ada perbaikan jalan.
Jadi aku harus memutar jauh untuk menuju Blingoh. Setelah pertigaan gapura,
jalan yang kalian lewati adalah bebatuan yang terjal dan jangan harap kalian
akan nyaman di atas kendaraan. Penuh perjuangan dan konsentrasi untuk melewati medan.
Dan sialanya kalau berbarengan dengan hujan. 20 menit berkendara nanti akan ada
pertigaan. Silahkan ambil kanan dan ikuti jalan sampai menemukan Vihara Shima
Kalingga. Dan ambil kanan lagi. Setelah itu silahkan tanyakan pada warga sekitar
dimana letak Air Terjun “undak Manuk
Jepara”. Kalu kalian tersesat sebelum
sampai sini. Tanyakan saja dimana Dukuh Gowa, Blingoh. Insyallah ketemu.
Setelah aku sampai di Dukuh Gowa tiba-tiba ada orang yang menghentikan
rombongan. Orang ini berpura-pura menjadi petugas penjaga yang memintai kami
uang. Untuk biaya masuk katanya. Padahal di lokasi sama sekali tidak ada
tanda-tanda wisata ini di kelola. Maka dengan negoisasi yang alot tanpa
menyakiti hati si penipu ini kami berhasil lewat tanpa membayar. Dan inilah
salah satu pembelajaran penting dari travelling yang tidak akan pernah
diajarkan didalam kelas. Menghadapi seorang penipu dengan negoisasi. Jalan
beraspal yang kami lalui sudah di ujung. Tiba-tiba ada warga yang sudah berumur
memanggil kami, “ape reng ndi nang”.
Sapa mbahnya. “Kulo badhe ing Air Terjun
mbah”. Posisi kami masih diatas motor. “nek
motor iku rak iso lewat nang, motormu titipke kene ae. Rak bakal bakal ono
maling motor neng kene”. Kami mulai berhitung dengan rombongan. Satu dua
setuju untuk menitipkan kendaraan di rumah warga. Satu dua lagi keberatan.
Rombongan kami delapan orang dengan dua perempuan diantaranya. Dan keputusan
diambil. Motor dititipkan. Kami mulai memasukan hutan berbekal petunjuk lisan
dari Mbah.
Kata Mbah, kami hanya di intruksikan terus menuju selatan hutan dan
dengarkan gemericik air terjunnya. Menelusuri jalan setapak sekitar dua puluh
menit. Kami belum menemukan tanda-tanda keberadannya. Hanya suara burung yang
terdengar indah juga Orkestra jangkrik yang masih sibuk mencari nadanya.
Setengah jam sudah kami memasuki hutan yang entah apa namanya. Dan belum ada
hasil. Mencoba bertanya kepada satu dua petani. Jawabannya sama kami hanya
disuruh menuju ke selatan. Ternyata eh ternyata kami sudah jauh di dalam hutan.
Kami tersesat. Wajah-wajah lelah rombongan mulai nampak. Tinggal menuggu waktu
mereka akan meminta kembali pulang. Tapi ketua rombaongan kami. Zulfan. Adalah
orang yang punya keyakinan bahwa kami akan segera menemukan si “Undak Manuk”
ini. Dia memerintahkan kami untuk menyebar mencari jalan setapak lain yang
mungkin bisa dilewati menuju selatan. Waktunya 10 menit dan harus kembali ke
titik awal. Dan kalian tau hasilnya?. Nihil. Yaa kami tersesat.
Posisi kami saat itu berada di puncak bukit. Sedikit untuk melepas
lelah. Tuhan memberikan pemandangan yang luar biasa. Kami bisa melihat indahnya
hamparan pasir Pantai Benteng Portugis, tumpukan bebatuan gunung kapur, juga
PLTU yang terlihat seperti mainan anak-anak. Indahnya Jeparaku jika dilihat
dari segi yang indah juga. Tak terasa dua jam sudah kami ditengah hutan.
Persediaan air minum kami mulai menipis. Kami harus bergegas menemukan air
terjun juga mata air. Saat harapan mulai hilang. Tiba-tiba ada seorang petani
mengahampiri kami. Zulfan sang ketua rombongan menjelaskan kenapa kita bisa
tersesat ditengah hutan. Lima menit berdiskusi, akhirnya petani tadi berbaik
hati mengantarkan kami sampai gerbang perawan menuju air terjun Undak Manuk. Kami
berterima kasih dan mengucapkan salam hangat.
Akses menuju air terjun benar-benar masih perawan. Warga sengaja tidak
membuat jalan setapak menuju kesana agar tetap lestari. Itu kata Pak Tani tadi
lho ya. Zulfan sebagai ketua rombongan turun tangan membuat jalan dengan
membabat beberapan rerumputan yang menghalangi kami. Ini pengalamnan yang seru.
Karena aku pertama kali melihat cara membuka jalan di hutan. Adalah sekitar dua
puluh menit kami berjalan. Dari kejauhan terlihat suguhan atraksi yang sungguh
memesona. Air terjun Undak Manuk telah muncul. Suara khas air terjun membuat
lelah kami menjadi kebahagiaan. Rombongan yang tadinya bosan menjadi antusias
bukan main. Semua perjuangan kami terbayar tuntas bahkan lebih.
Sesampainya di air terjun kami langusng mendirikan sholat dzuhur lalu
menyalakan kompor portable, memasak kopi bagi perempuan dan loncat dari
ketinggian bagi kami anak laki-laki. Berdiri dibawah air terjun dan meraskan
bak relaksasi dipijat-dipijat geli. Hmmm brrrrr. Pijatan dari alam tidak akan
pernah tertandingi oleh tukang pijat manapun di dunia. Lelah kami hilang terbawa
arus. Seruan dari anak perempuan bahwa kopi telah siap membuat kami
menghentikan prosesi relaksasi. Sebuah kopi hangat di nikmati di bawah air
terjun setinggi 50 meter dengan tampias air yang membasi wajah inilah surge dunia
versi kami.
Karena cuaca mulai menunjukan tanda-tanda akan turun hujan. Cukup
setengah jam saja kami menikmati air terjun. Kami bergegas memberesakan
peralatan memasak dan baju-baju juga sampah yang tidak boleh tertinggal. Kami
harus segera pulang sebelum hujan turun. Tapi apa mau dikata, di tengah
perjalanan, hujun turun dengan derasnya. Dengan mengambil beberapa helai daun
pisang kami menerobos hujan. Apakh kami akan marah kepada alam dengan turunnya
hujan?. Ah tidak elok rasanya ketika kita sudah menikmati alam lalu kami
mencaci makinya. Kata Zulfan “Hujan adalah anugerah bagi setiap segi kehidupan,
maka rasakanlah setiap tetes airnya yang masih bersahabat ini. Sebelum nanti
hujan menjadi musuh nyata karena ulah kita umat manusia”. Namun kejutan terjadi
lagi.
“lho baru kembali dari air terjun ya?”. Sapa petani yang bertemu kami
di jalan. “Kalian mau kembali ke Desa?”. Bahasanya
aku terjemahkan. Zulfan menjawab “iya Pak”. “lho kalian jangan lewat sini.
Kalau lewat sini kalian akan memutari bukit dan butuh berjam-jam sebelum
kembali desa. Kalian ikuti saja jalan setapak ini dan jangan pernah berbelok”.
Kami mengangguk. Adalah dua puluh menit kami berjalan sesuai arahan. Kampung
tempat penitipan sudah terlihat. Kami saling pandang sesaat dan tertawa lebar
karena kebodohan kami yang harus memutari bukit dulu untuk menuju air terjun. Padahal
kalau sesuai rute, hanya butuh dua puluh menit untuk sampai di gerbang perawan
Air Terjun Undak Manuk. Kami semua tidak pernah menyesal dengan tersesat.
Karena dengan tersesat kami bisa berdiri diatas bukit dan melihat betapa
indahnya kota Jepara. Memang inilah sejatinya pembelajaran travelling. Banyak
menemukan hal baru disaat ujian hidup datang.
Azwar, 17 Tahun
Calon Petinggi
0 komentar: