Menikmati Sunrise di Kebun Buah Mangunan Bantul
Setelah menjadi mahasiswa seni kehidupanku berbalik 361 derajat. Kuliah
memang hanya tiga hari tapi pembelajaran pendalaman kesenian berlangsung setiap
hari. Burjo, angkringan sampai di café-café kami belajar kehidupan dan kesenian
dengan bertemu orang-orang baru dengan pemikiran-pemikiran di luar batas.
Selalu bertukar kopi asal daerah tentunya.
Weekend ini aku berkesempatan berkunjung ke salah satu bukit yang ada
di daerah Bantul. Mangunan. Karena kosku di Sewon agak dekat dari Manguanan
jadi aku dan temanku sengaja berangkat mepet matahari mulai bersinar. Sekitar
pukul 4.15 WIB kami mulai naik. Walaupun ini hari minggu ternyata kami
benar-benar naik sendirian, kanan kiri hutan belantara tanpa penerangan apapun.
Mencekam layaknya film train to busan versi naik-naik ke puncak gunung ditambah
grimis cantik yang menambah efek horor. Setiap ada mobil dari belakang perasaan
lega juga beban. Mobil nih seolah-olah pengen cepet-cepet aja kan taik, padahal
jalannya licinya udah kayak temen pas mau ditagih hutang.
Ketegangan itu mulai menghilang saat mulai memasuki perkampungan,
lampu-lampu jalan menyambut kami. Hilang sudah horror sialan ini. Fyi lur biar
kayak anak ig, tiket masuk ini dihitung per orang seharga enam ribu saja. Murah
lah buat mahasiswa. Gardu pandang sunrisenya tidak jauh dari tempat parkir
motor, tapi kalau habis hujan semaleman sama aja jalannya menjadi horor karena
kanan kirinya jurang. Aku sama temenku benar-benar seperti menjadi pemilik privat
kawasan ini. Terlalu gasik semua masih gelap gulita. Tak disangka diantara
kegelapan tadi sudah ada penghuni senior. Dua sejoli sedang memadu kasih dan
tak sadar dengan kehadiran kami. Aku salah tingkah, loncat-loncat biar dia
peka, teriak-teriak biar dia nyelesin urusannya, eh malah dia nggak peduli. Duh
anak muda.
Oke, matahari mulai pamer keindahannya di ujung timur. Sinarnya menggeser
kabut perlahan. Hangat membawa ketenangan menggantikan dinginnya hujan semalam.
Aku rindu. Rindu pelukan ibu. “Semoga anakmu ini sukses bu” doa yang ku
panjatkan bersama sinar matahari mencumbu pagi.
Ketika aku berpergian jauh aku selalu merasa tertampar dengan kode-kode
Tuhan. Saat aku mulai naik ke Mangunan, kiri kanan berjejer Gedung-gedung besar
pemutar kehidupan, lalu naik lagi ada hutan berjejer, rasanya sunyi dan
mencekam, dan ketika sampai puncak semua itu terlihat kecil tak ada apa-apanya.
Gedung-gedung pencakar langit hanya seperti mainan lego. Hutan-hutan belantara
hanya terlihat hijaunya saja. Lalu aku teringat kata teman seperkopianku.
“Ketika kamu di puncak, tampar dirimu dan renungkan. Apa yang harus
disombongkan kalau dari atas sini semuanya sama”.
Overall, mangunan tempatnya asik. Tempat sampah disediain cukup banyak.
Harga-harga makanan dan minuman disini juga tidak terpaut jauh dari harga di
bawah. Asyik deh pokoknya lur. Ndang reneo. Ucapan terakhir, mari ngopi agar
kita tahu pahit itu hanya kopi bukan kehidupannya.
0 komentar: