Jembul Tulakan Ngamuk
Penulis Ika Natasha dalam bukunya
“Architecture of Love”, dia menceritakan seorang penulis yang mengalami Writer Block, yaitu kejadian berhenti
menulis karena psikisnya dipengaruhi oleh masalah yang besar dan penulis belum
bisa move on.
Aku mungkin mengalami hal semacam itu beberapa
minggu terakhir ini, Creative Block
tepatnya. Aku tidak mampu mengkaryakan apapun sebulan terakhir ini. Bahkan
video instagrampun tak mampu.
Akhirnya setelah sekian lama aku
membunuh waktu dalam rangka menunggu waktu kuliah, Tuhan menghadirkan adik-adik
baik yang ngajakin bikin film dokumenter.
Dan hadiah terbesarnya adalah travelling
melihat budaya dan tradisi. Travelling menurutku adalah obat paling munjarab diantara
penemuan ilmuwan manapun. Film yang akan kami buat adalah sebuah tradisi
sedekah bumi di desa Tulakan Kec Donorojo Kab Jepara. Kenapa harus desa
Tulakan?, menurut Bapak Subekti sebagai pemangku adat, Tradisi disini sangat
unik dan tidak ada di daerah manapun di dunia.
Desa Tulakan terdiri dari empat dukuh
besar, yaitu Krajan, Ngemplak, Winong, dan Drojo. Dari setiap dukuh ini harus
mengirimkan “Jembul” ke rumah Pak Petinggi. Jembul adalah sebuah gunungan besar
yang disusun dari kerangka bambu dan kayu. Setiap jembul memiliki nama berbeda
menurut sesepuh dukuh masing-masing. Jembul tidak akan bisa diangkat sebelum ditancepi wayang golek diatasnya, ini
masih mitos namun kenyataannya dilapangan memang seperti itu.
Jembul tidak boleh bertemu saat diarak
menuju ke rumah Pak Petinggi, kalau ternyata memang bertemu dijalan, maka
pertumpahan darah idak bisa dihindarkan. Alasannya adalah Jembul ini sudah dikendalikan
makhluk tak kasat mata. Hii serem bang.
Dalam pembuatan film ini aku menjadi
Produser alias Penyuplai Dana alias Tukang Jajakno. Jadi aku nggak pegang
kamera dan hanya asik menonton Jembul yang moba-mabet
sakerepe dewe. Mirip dengan bambu gila. Setelah sampai di rumah Pak
Petinggi Jembul akan diletakan didepan panggung hiburan. Katanya, agar Jembul
ini terhibur.
Setelah hiburan selesai Jembul akan
diarak kembali ke dukuh masing-masing. Dan ini masalahnya. Menurut desas desus
warga, Jembul akan sangat agresif ketika akan diarak kembali pulang ke dukuh.
Dan pengamatanku dilapangan menyetujuinya.
Tiga Jembul pertama sukses dikendalikan
keluar dari kediaman Pak Petinggi. Namun Jembul terakhir dari Drojo gagal
dikendalikan. Ketika keluar dari rumah Pak Petinggi Jembul ini menabrak
kerumunan warga yang dalam pengaruh alkohol. Alhasil pertempuran terjadi,
saling pukul tanpa kenal kawan dan lawan yang terpenting adalah melukai orang
disekitarnya. Aku mah langsung ngacir cari tempat aman. Namanya juga alcohol.
Hujan batu turut mewarnai pertempuran
yang siapa lawan siapa kawan, ini semacam hobi mungkin. Menurut Pak Subekti,
kalau nggak ada gituanya nggak seru kata warga. Oh shit. Aku melihat sendiri
orang dicekik, tertimpa batu, dan ditusuk dengan bambu, ini pengalaman gila.
Setelah lima menit, akhirnya Sabhara
Polres Jepara bertindak tegas untuk mengakhiri semua pertempuran edan ini.
Taulah ketegasan Pak Polisi ini gimana. Dihajar biar bubar.
Inilah esensi travelling alias
jalan-jalan. Membuka wawasan dan mendapat banyak relasi. Jadi masih pikir-pikir
kalau mau jalan?, Hahh nunggu tua?, yuk angkat kopermu dan lihatlah dunia
dengan sudut pandangmu sendiri
Azwar.
0 komentar: