Menyeduh Kopi di Bawah Air Terjun “Undak Manuk Jepara”

19.05 Azwar Aff 0 Comments


Weekend, Sabtu 18 Maret 2017. Seminggu terakhir ini aku disibukan dengan kegiatan UASBN. Maklum lah udah kelas 12. Seperti biasa setiap weekend aku selalu menyempatkan setidaknya satu hari untuk travelling. Kali ini aku berkesempatan mengunjungi destinasi wisata alam yang belum dikelola pemerintah atau masyarakat sekitar alias masih perawan. Ojo ngeres lho. Warga sekitar memberinya nama “Air Terjun Undak Manuk”, dan aku nggak tahu artinya selain “manuk” adalah burung. Berlokasi di Dukuh Gowa, Blingoh, Donorojo, Jepara (di Tengah Hutan).

Untuk menuju desa Blingoh bisa ditempuh kurang lebih 45 menit dari kota Jepara. Desa ini berada di ujung timur kota Jepara. Teruslah menuju timur kota, kalian nanti akan melewati Kec Mlonggo, Bangsri, Kembang. Setelah melewati Kec Kembang nanti akan ada pertigaan Advertisement place dari Benteng Portugis. Ambil kiri. Sekitar 3  Km ada pertigaan gapura pembatas desa (warnan Hijau) silahkan ambil kanan. Oh ya saat aku kesana sedang ada perbaikan jalan. Jadi aku harus memutar jauh untuk menuju Blingoh. Setelah pertigaan gapura, jalan yang kalian lewati adalah bebatuan yang terjal dan jangan harap kalian akan nyaman di atas kendaraan. Penuh perjuangan dan konsentrasi untuk melewati medan. Dan sialanya kalau berbarengan dengan hujan. 20 menit berkendara nanti akan ada pertigaan. Silahkan ambil kanan dan ikuti jalan sampai menemukan Vihara Shima Kalingga. Dan ambil kanan lagi. Setelah itu silahkan tanyakan pada warga sekitar dimana letak  Air Terjun “undak Manuk Jepara”.  Kalu kalian tersesat sebelum sampai sini. Tanyakan saja dimana Dukuh Gowa, Blingoh. Insyallah ketemu.



Setelah aku sampai di Dukuh Gowa tiba-tiba ada orang yang menghentikan rombongan. Orang ini berpura-pura menjadi petugas penjaga yang memintai kami uang. Untuk biaya masuk katanya. Padahal di lokasi sama sekali tidak ada tanda-tanda wisata ini di kelola. Maka dengan negoisasi yang alot tanpa menyakiti hati si penipu ini kami berhasil lewat tanpa membayar. Dan inilah salah satu pembelajaran penting dari travelling yang tidak akan pernah diajarkan didalam kelas. Menghadapi seorang penipu dengan negoisasi. Jalan beraspal yang kami lalui sudah di ujung. Tiba-tiba ada warga yang sudah berumur memanggil kami, “ape reng ndi nang”. Sapa mbahnya. “Kulo badhe ing Air Terjun mbah”. Posisi kami masih diatas motor. “nek motor iku rak iso lewat nang, motormu titipke kene ae. Rak bakal bakal ono maling motor neng kene”. Kami mulai berhitung dengan rombongan. Satu dua setuju untuk menitipkan kendaraan di rumah warga. Satu dua lagi keberatan. Rombongan kami delapan orang dengan dua perempuan diantaranya. Dan keputusan diambil. Motor dititipkan. Kami mulai memasukan hutan berbekal petunjuk lisan dari Mbah.






Kata Mbah, kami hanya di intruksikan terus menuju selatan hutan dan dengarkan gemericik air terjunnya. Menelusuri jalan setapak sekitar dua puluh menit. Kami belum menemukan tanda-tanda keberadannya. Hanya suara burung yang terdengar indah juga Orkestra jangkrik yang masih sibuk mencari nadanya. Setengah jam sudah kami memasuki hutan yang entah apa namanya. Dan belum ada hasil. Mencoba bertanya kepada satu dua petani. Jawabannya sama kami hanya disuruh menuju ke selatan. Ternyata eh ternyata kami sudah jauh di dalam hutan. Kami tersesat. Wajah-wajah lelah rombongan mulai nampak. Tinggal menuggu waktu mereka akan meminta kembali pulang. Tapi ketua rombaongan kami. Zulfan. Adalah orang yang punya keyakinan bahwa kami akan segera menemukan si “Undak Manuk” ini. Dia memerintahkan kami untuk menyebar mencari jalan setapak lain yang mungkin bisa dilewati menuju selatan. Waktunya 10 menit dan harus kembali ke titik awal. Dan kalian tau hasilnya?. Nihil. Yaa kami tersesat.

Posisi kami saat itu berada di puncak bukit. Sedikit untuk melepas lelah. Tuhan memberikan pemandangan yang luar biasa. Kami bisa melihat indahnya hamparan pasir Pantai Benteng Portugis, tumpukan bebatuan gunung kapur, juga PLTU yang terlihat seperti mainan anak-anak. Indahnya Jeparaku jika dilihat dari segi yang indah juga. Tak terasa dua jam sudah kami ditengah hutan. Persediaan air minum kami mulai menipis. Kami harus bergegas menemukan air terjun juga mata air. Saat harapan mulai hilang. Tiba-tiba ada seorang petani mengahampiri kami. Zulfan sang ketua rombongan menjelaskan kenapa kita bisa tersesat ditengah hutan. Lima menit berdiskusi, akhirnya petani tadi berbaik hati mengantarkan kami sampai gerbang perawan menuju air terjun Undak Manuk. Kami berterima kasih dan mengucapkan salam hangat.
Akses menuju air terjun benar-benar masih perawan. Warga sengaja tidak membuat jalan setapak menuju kesana agar tetap lestari. Itu kata Pak Tani tadi lho ya. Zulfan sebagai ketua rombongan turun tangan membuat jalan dengan membabat beberapan rerumputan yang menghalangi kami. Ini pengalamnan yang seru. Karena aku pertama kali melihat cara membuka jalan di hutan. Adalah sekitar dua puluh menit kami berjalan. Dari kejauhan terlihat suguhan atraksi yang sungguh memesona. Air terjun Undak Manuk telah muncul. Suara khas air terjun membuat lelah kami menjadi kebahagiaan. Rombongan yang tadinya bosan menjadi antusias bukan main. Semua perjuangan kami terbayar tuntas bahkan lebih.

Sesampainya di air terjun kami langusng mendirikan sholat dzuhur lalu menyalakan kompor portable, memasak kopi bagi perempuan dan loncat dari ketinggian bagi kami anak laki-laki. Berdiri dibawah air terjun dan meraskan bak relaksasi dipijat-dipijat geli. Hmmm brrrrr. Pijatan dari alam tidak akan pernah tertandingi oleh tukang pijat manapun di dunia. Lelah kami hilang terbawa arus. Seruan dari anak perempuan bahwa kopi telah siap membuat kami menghentikan prosesi relaksasi. Sebuah kopi hangat di nikmati di bawah air terjun setinggi 50 meter dengan tampias air yang membasi wajah inilah surge dunia versi kami.

Karena cuaca mulai menunjukan tanda-tanda akan turun hujan. Cukup setengah jam saja kami menikmati air terjun. Kami bergegas memberesakan peralatan memasak dan baju-baju juga sampah yang tidak boleh tertinggal. Kami harus segera pulang sebelum hujan turun. Tapi apa mau dikata, di tengah perjalanan, hujun turun dengan derasnya. Dengan mengambil beberapa helai daun pisang kami menerobos hujan. Apakh kami akan marah kepada alam dengan turunnya hujan?. Ah tidak elok rasanya ketika kita sudah menikmati alam lalu kami mencaci makinya. Kata Zulfan “Hujan adalah anugerah bagi setiap segi kehidupan, maka rasakanlah setiap tetes airnya yang masih bersahabat ini. Sebelum nanti hujan menjadi musuh nyata karena ulah kita umat manusia”. Namun kejutan terjadi lagi.








“lho baru kembali dari air terjun ya?”. Sapa petani yang bertemu kami di jalan. “Kalian mau kembali ke Desa?”. Bahasanya aku terjemahkan. Zulfan menjawab “iya Pak”. “lho kalian jangan lewat sini. Kalau lewat sini kalian akan memutari bukit dan butuh berjam-jam sebelum kembali desa. Kalian ikuti saja jalan setapak ini dan jangan pernah berbelok”. Kami mengangguk. Adalah dua puluh menit kami berjalan sesuai arahan. Kampung tempat penitipan sudah terlihat. Kami saling pandang sesaat dan tertawa lebar karena kebodohan kami yang harus memutari bukit dulu untuk menuju air terjun. Padahal kalau sesuai rute, hanya butuh dua puluh menit untuk sampai di gerbang perawan Air Terjun Undak Manuk. Kami semua tidak pernah menyesal dengan tersesat. Karena dengan tersesat kami bisa berdiri diatas bukit dan melihat betapa indahnya kota Jepara. Memang inilah sejatinya pembelajaran travelling. Banyak menemukan hal baru disaat ujian hidup datang.

Azwar, 17 Tahun
Calon Petinggi

You Might Also Like

0 komentar: