Mengalami Kemanusiaan di Bandung
Pada suatu ketika di zaman now, saat perkenalan dosen dan mahasiswa
semester dua. Satu per satu mahasiswa mulai berdiri dan mengenalkan diri. Ini
hebatnya Bapak dosenku, setiap mahasiswa menyebutkan nama daerahnya, Bapak Dosen
ini langsung menyebutkan tempat ikonik di sana. Mulai
dari tempat, makanan khasnya, serta adatnya beliau hafal diluar kepala. Sungguh
pengalaman hidupnya sudah panjang dan berhak mendapat gelar Dosen JANCOK.
Beliaulah Bapak Alek dosen ide kreatif ISI Jogja. Setiap mulai
perkuliahan, selalu di gemborkan semangat berjalan-jalan menjelajah dunia. Menurut
beliau ide kreatif itu harus benar-benar dicari dengan sebuah perjalanan
mengalami kehidupan. Pergi sejauh mungkin yang kita bisa, merespon setiap kejadian,
mengendapkan, menuliskan, dan menghancurkannya agar menjadi karya. Sutradara keren Indonesia Riri Riza telah
berhasil membuktikan teori Pak Alex. Film-film Riri Riza yang digarap bersama
Mira Lesmana sudah bisa dibilang membungkus Indonesia.
Dua Paragraf diatas mengilhami seorang Azwar untuk melakukan hal yang
diluar zona nyamannya. Mengalami kehidupan di Tanah Pasundan. Setelah dari
acara temu komunitas film se Indonesia di Sukabumi aku memilih menunda pulang
Jogja. Bermukim di Kota Bandung lautan asmara.
Dengan pinjaman motor bebek aku membiarkan pikiran dan hati berperang untuk
menentukan tujuan hendak kemana. Entah hati atau pikiran yang menang, motor
bebek sudah terparkir di Jalan Braga. Fokusku adalah mengamati kehidupan
sekitar lalu merespon, mengendapkan, dan meledakan. Satu persatu gerombolan
wisatawan mulai berlalu lalang didepanku, disusul pasangan sejoli yang sedang
berimajinasi seperti Dilan Milea, dan di akhiri turis Slovakia yang aduhai
seksinya. Semuanya terlihat sumringah melihat tempat-tempat baru di Bandung
Raya. Lalu pikiranku dengan lancang bertanya, apakah bangku yang aku duduki ini
pernah merasa bosan dan sangat ingin sekali merasakan perasaan manusia-manusia
dari jauh yang mendudukinya?. Apakah tukang parkir warga lokal yang kusut
mukanya itu sudah pernah berkenalan dengan bangku-bangku ini?. Ah Jancok kabeh.
Ternyata Hujan yang lebih dulu mengajaku berkenalan di Pasundan. Dia
mencumbu setiap detail tubuhku sampai melupakan kesadaranku. Kulanjutkan
perjalanan dengan motor bebeku dengan kawalan sang pencumbu. Biar sama-sama
nikmat. Basement Alun-Alun Bandung tujuannya. Aku mencoba sekali lagi mengamati
roda kehidupan di basement Alun-Alun. Berdiam diri, memesan mie kocok, masih
memantau dan jancuknya mie kocoknya seharga 20 ribu. Pengen ngomong Asu. Kehidupan
bawah basement didominasi petugas satpol PP dan Dinas Perhubungan yang sedang
nongkrong. Entah ada tujuan apa Ridwan Kamil mengerahkan ratusan pasukan di
sekitaran Basement Alun-Alun. Basement kehidupannya agak lebih keras. Pedagang
ngomong seenaknya ke pembeli, lewat depan orang nggak permisi, individualistic
dan antipasti pokoknya. Aku yang terbiasa dengan budaya Jogja agak kaget dengan
kehidupan basement ini. Kejadian seperti ini aku alami juga di terminal luwi
panjang ketika hendak naik angkot. Banyak calo angkot yang mabuk dan seenaknya
main tarik dan mematok harga setinggi-tingginya. Kalau nggak mabuk udah tak
ajak sholat tuh preman bangsat.
Bandung masih banyak anak jalanan yang belum ditata kehidupannya. Pas aku
diangkot tiba-tiba segerombolan anak punk naik ke angkot dan ngamen tanpa alat
musik dan modal mulut yang gak jelas. Moment yag tuaik. Seperti yang dibilang
Pak Alex, kita harus mengalami kehidupan, walaupun aku ingin nonjok muka tuh
anak punk tapi ada satu pelajaran penting yang aku petik. Anak punk ini sama
sekali tidak takut lapar, dia selalu mencari makan hanya untuk hari itu saja,
seperti ajaran Rasullah bukan?. Mereka sudah percaya bahwa di Bandung tidak
akan ada kasus orang mati karena kelaparan.
Bandung, aku utang rasa padamu. Tunggu aku kembali dengan cumbuan yang
lebih hangat lagi.
0 komentar: