Mengalami Kemanusiaan di Bandung

07.44 Azwar Aff 0 Comments



Pada suatu ketika di zaman now, saat perkenalan dosen dan mahasiswa semester dua. Satu per satu mahasiswa mulai berdiri dan mengenalkan diri. Ini hebatnya Bapak dosenku, setiap mahasiswa menyebutkan nama daerahnya, Bapak Dosen ini langsung menyebutkan tempat ikonik di sana. Mulai  dari tempat, makanan khasnya, serta adatnya beliau hafal diluar kepala. Sungguh pengalaman hidupnya sudah panjang dan berhak mendapat gelar Dosen JANCOK.

Beliaulah Bapak Alek dosen ide kreatif ISI Jogja. Setiap mulai perkuliahan, selalu di gemborkan semangat berjalan-jalan menjelajah dunia. Menurut beliau ide kreatif itu harus benar-benar dicari dengan sebuah perjalanan mengalami kehidupan. Pergi sejauh mungkin yang kita bisa, merespon setiap kejadian, mengendapkan, menuliskan, dan menghancurkannya agar menjadi karya.  Sutradara keren Indonesia Riri Riza telah berhasil membuktikan teori Pak Alex. Film-film Riri Riza yang digarap bersama Mira Lesmana sudah bisa dibilang membungkus Indonesia.

Dua Paragraf diatas mengilhami seorang Azwar untuk melakukan hal yang diluar zona nyamannya. Mengalami kehidupan di Tanah Pasundan. Setelah dari acara temu komunitas film se Indonesia di Sukabumi aku memilih menunda pulang Jogja. Bermukim di Kota Bandung lautan asmara.

Dengan pinjaman motor bebek aku membiarkan pikiran dan hati berperang untuk menentukan tujuan hendak kemana. Entah hati atau pikiran yang menang, motor bebek sudah terparkir di Jalan Braga. Fokusku adalah mengamati kehidupan sekitar lalu merespon, mengendapkan, dan meledakan. Satu persatu gerombolan wisatawan mulai berlalu lalang didepanku, disusul pasangan sejoli yang sedang berimajinasi seperti Dilan Milea, dan di akhiri turis Slovakia yang aduhai seksinya. Semuanya terlihat sumringah melihat tempat-tempat baru di Bandung Raya. Lalu pikiranku dengan lancang bertanya, apakah bangku yang aku duduki ini pernah merasa bosan dan sangat ingin sekali merasakan perasaan manusia-manusia dari jauh yang mendudukinya?. Apakah tukang parkir warga lokal yang kusut mukanya itu sudah pernah berkenalan dengan bangku-bangku ini?. Ah Jancok kabeh.

Ternyata Hujan yang lebih dulu mengajaku berkenalan di Pasundan. Dia mencumbu setiap detail tubuhku sampai melupakan kesadaranku. Kulanjutkan perjalanan dengan motor bebeku dengan kawalan sang pencumbu. Biar sama-sama nikmat. Basement Alun-Alun Bandung tujuannya. Aku mencoba sekali lagi mengamati roda kehidupan di basement Alun-Alun. Berdiam diri, memesan mie kocok, masih memantau dan jancuknya mie kocoknya seharga 20 ribu. Pengen ngomong Asu. Kehidupan bawah basement didominasi petugas satpol PP dan Dinas Perhubungan yang sedang nongkrong. Entah ada tujuan apa Ridwan Kamil mengerahkan ratusan pasukan di sekitaran Basement Alun-Alun. Basement kehidupannya agak lebih keras. Pedagang ngomong seenaknya ke pembeli, lewat depan orang nggak permisi, individualistic dan antipasti pokoknya. Aku yang terbiasa dengan budaya Jogja agak kaget dengan kehidupan basement ini. Kejadian seperti ini aku alami juga di terminal luwi panjang ketika hendak naik angkot. Banyak calo angkot yang mabuk dan seenaknya main tarik dan mematok harga setinggi-tingginya. Kalau nggak mabuk udah tak ajak sholat tuh preman bangsat.

Bandung masih banyak anak jalanan yang belum ditata kehidupannya. Pas aku diangkot tiba-tiba segerombolan anak punk naik ke angkot dan ngamen tanpa alat musik dan modal mulut yang gak jelas. Moment yag tuaik. Seperti yang dibilang Pak Alex, kita harus mengalami kehidupan, walaupun aku ingin nonjok muka tuh anak punk tapi ada satu pelajaran penting yang aku petik. Anak punk ini sama sekali tidak takut lapar, dia selalu mencari makan hanya untuk hari itu saja, seperti ajaran Rasullah bukan?. Mereka sudah percaya bahwa di Bandung tidak akan ada kasus orang mati karena kelaparan.

Bandung, aku utang rasa padamu. Tunggu aku kembali dengan cumbuan yang lebih hangat lagi.

You Might Also Like

0 komentar: