Jogja Istimewa dengan Budaya Pendidikan
Jogja selalu identik dengan budaya
dan sejarah panjang berdirinya Republik ini. Universtitas besar penghasil
manusia intelek berdiri gagah disini. UGM, UNY, ISI dan puluhan PTS terakreditasi
A. Tak salah jika disebut Kota Pendidikan. Setelah maghrib televisi diharamkan.
Masyarakat harus belajar di jam prouktif itu. Aku dan temanku menyempatkan
berpelisir di sela-sela seleksi masuk kuliah yang melelahkan. Dengan meminjam
motor saudara yang ada di Bantul. Kami menjelajah Jogja tanpa guide. Lebih baik
nyasar dariapada nanya. Itu semboyan iklan rokok yang harus kita pegang.
Kami mulai dengan wisata pendidikan
ke kawasan manusia intelek. UGM. Disepanjang jalan, taman, bahkan toilet
dipenuhi dengan pemikiran yang melesat jauh menembus sekat kejahliyahan
manusia. Mahasiswanya datang dari seluruh pelosok negeri dan akan menyebar ke
seluruh dunia dengan mengemban misi prodi mereka masing-masing. Jokowi, Ganjar,
Amin Rais adalah sedikit contoh alumni sukses buah hebatnya pendidikan UGM. Logat
yang berbeda dari setiap daerah menambah keunikan lingkungan intelek ini. Kalau
temanku menyebutnya “Little Indonesia”. Tapi sayang aku nggak tertarik untuk
kuliah disini.
Menjelang sore, kami menuju selatan
melewati banyak bangunan menjulang. Sesak lalu lintas, asap kendaraan saling
beradu. Jogja sesak nafas kala sore hari. Melewati banyak universitas swasta
dengan baner promosi pmbnya masing-masing. Tujuan kami selanjutnya adalah
Malioboro. Destinasi wajib para pelancong. Entah apa yang membuat jalan ini
istimewa, padahal isinya hanya toko souvenir saja. Namun apa boleh dikata,
inilah Malioboro little of the world. Oh ya kalau kalian backpacker yang minim
dana, jangan coba-coba makan di sepanjang jalan maliboro. Mahal kang mas. Bikin
dompet jebol. Cukup beli souvenir saja disini. Kalau kita dari Malioboro menuju
timur dekat stasiun tugu, maka akan kita temukan “Sarkem” pusat prostitusi
Jogja. Cukup lihat aja nggak usah main dengan alasan apapun.
Kami terus menuju selatan meniggalkan
malioboro. Melewati jalan 0 Km Jogjakarta. Disini kita bisa berfoto dengan
aneka cosplay. Ada Transformers, Hello Kitty bahkan hantu top Indonesia.
Pocong. Tujuan kami selanjutnya adalah alun-alun selatan. Bagian paling
terkenal adalah dua pohon beringin besar yang melegenda. Barangsiapa yang bisa
melewati tengah pohon ini dengan mata terutup, maka …….. . Udah jangan percaya
dengan mitosnya. Disini juga ada becak-becak hias yang bisa disewa untuk
memutari alun-alun. Tak berselang lama, kami bosan. Kami terus menuju ke
selatan. Industry kreatif jogja memang sangat ketat. Beda dengan Jepara. Di
Jogja manusianya terus berinovasi menciptakan produk baru yang keren-keren.
Seni disini dijunjung tingi dalam kehidupan. Berbeda sekali dengan Jepara. Banyak
produk Jepara yang mengadopsi Jogja. Tak usah disebutkan lha.
Memasuki kawasan sejarah dan seni.
Jalan Parangtritis Km 6,5. Sekitar 10 menit dari alun-alun. Kami sempatkan
mampir di ISI YK. Tempat seniman besar Indonesia di lahirkan. Kalau
membandingkan dengan kawasan UGM memang bertolak belakang. Mahasiswa disini
persis seperti tukang bangunan penampilannya. Rambut gondrong, di semir,
celananya sobek-sobek dan motornya vespa dengan knalpot tanpa filer. Sama
sekali tidak terlihat seperti manusia bependidikan layak UGM ataupun UNY. Namun
mahasiswa seni adalah pembelajar kehidupan yang baik. Tampil apa adanya tanpa
rekayasa. Waktu sudah malam dan kami harus beristirahat karena besok harus
kembali ke Jepara untuk menyambung hidup. Lakukan perjalan agar kamu tahu arti
perjuangan.
Azwar, 17 Tahun.
0 komentar: